A. Pengertian TBC
Penyakit TBC adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh mikrobakterium tuberkulosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainya(Depkes RI,
2002).Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman/bakteri
Mycobacteriumtuberculosis. Kuman ini pada umumnya menyerang paru - paru dan
sebagianlagi dapat menyerang di luar paru - paru, seperti kelenjar getah
bening(kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan, selaput otak, dan
sebagianya(Laban, 2008).
B. Etiologi
Tuberkulosis
anak merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman ini menyebar dari satu orang ke orang lain melalui percikan
dahak (droplet nuclei) yang dibatukkan. Jadi kalau Cuma bersin atau
tukar-menukar piring atau gelas minum tidak akan terjadi penularan (Aditama,
2000).
1.
Merokok pasif
Merokok
pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga
meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah fungsi sel,
misalnya dengan menurunkan tingkat kejernihan zat yang dihirup dan kerusakan
kemampuan penyerapan sel dan pembuluh darah (Reuters Health, 2007).
2.
Faktor Risiko TBC anak (admin.,
2007)
a.
Resiko infeksi TBC
Anak yang
memiliki kontak dengan orang dewasa dengan TBC aktif, daerah endemis,
penggunaan obat-obat intravena, kemiskinan serta lingkungan yang tidak sehat.
Pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius. Resiko timbulnya transmisi kuman
dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut
mempunyai BTA sputum yang positif, terdapat infiltrat luas pada lobus atas atau
kavitas produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat, terutama sirkulasi udara yang
tidak baik. Pasien TBC anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa disekitarnya, karena TBC pada anak jarang infeksius, hal ini disebabkan
karena kuman TBC sangat jarang ditemukan pada sekret endotracheal, dan jarang
terdapat batuk5. Walaupun terdapat batuk tetapi jarang menghasilkan sputum.
Bahkan jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam
konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.
b.
Resiko Penyakit TBC
Anak ≤ 5
tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit
TBC, mungkin karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur).
Namun, resiko sakit TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan
usia. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan menjadi sakit
TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24%, pada
usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak < 5 tahun memiliki resiko lebih
tinggi mengalami TBC diseminata dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi
. Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan
imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan silikosis. Status
sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.
C. Patofisologi
Berbeda
dengan TBC pada orang dewasa, TBC pada anak tidak menular. Pada TBC anak, kuman
berkembang biak di kelenjar paru-paru. Jadi, kuman ada di dalam kelenjar, tidak
terbuka. Sementara pada TBC dewasa, kuman berada di paru-paru dan membuat
lubang untuk keluar melalui jalan napas. Nah, pada saat batuk, percikan
ludahnya mengandung kuman. Ini yang biasanya terisap oleh anak-anak, lalu masuk
ke paru-paru (Wirjodiardjo, 2008).
Proses
penularan tuberculosis dapat melalui proses udara atau langsung, seperti saat
batuk. Terdapat dua kelompok besar penyakit ini diantaranya adalah sebagai berikut: tuberculosis paru primer dan tuberculosis post primer.
Tuberculosis primer sering terjadi pada anak, proses ini dapat dimulai dari
proses yang disebut droplet nuklei, yaitu statu proses terinfeksinya partikel
yang mengandung dua atau lebih kuman tuberculosis yang hidup dan terhirup serta
diendapkan pada permukaan alveoli, yang akan terjadi eksudasi dan dilatasi pada
kapiler, pembengkakan sel endotel dan alveolar, keluar fibrin serta makrofag ke
dalam alveolar spase. Tuberculosis post primer, dimana penyakit ini terjadi
pada pasien yang sebelumnya terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis
(Hidayat, 2008).
Sebagian
besar infeksi tuberculosis menyebar melalui udara melalui terhirupnya nukleus
droplet yang berisikan mikroorganisme basil tuberkel dari seseorang yang
terinfeksi. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas yang diperantarai oleh sel
dengan sel elector berupa makropag dan limfosit (biasanya sel T) sebagai sel
imuniresponsif. Tipe imunitas ini melibatkan pengaktifan makrofag pada bagian
yang terinfeksi oleh limfosit dan limfokin mereka, responya berupa reaksi
hipersentifitas selular (lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolar membangkitkan reaksi peradangan yaitu ketika leukosit digantikan oleh
makropag. Alveoli yang terlibat mengalami konsolidasi dan timbal pneumobia
akut, yang dapat sembuh sendiri sehingga tidak terdapat sisa, atau prosesnya
dapat berjalan terus dengan bakteri di dalam sel-sel (Price dan Wilson, 2006).
Drainase
limfatik basil tersebut juta masuk ke kelenjar getah bening regional dan
infiltrasi makrofag membentuk tuberkel sel epitelloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Nekrosis sel menyebabkan gambaran keju (nekrosis gaseosa), jeringan
grabulasi yang disekitarnya pada sel-sel epitelloid dan fibroblas dapat lebih
berserat, membentuk jatingan parut kolagenosa, menghasilkan kapsul yang
mengeliligi tuberkel. Lesi primer pada paru dinamakan fokus ghon, dan kombinasi
antara kelenjar getah bening yang terlibat dengan lesi primer disebut kompleks
ghon. Kompleks ghon yang mengalami kalsifikasi dapat terlihat dalam pemeriksaan
foto thorax rutin pada seseorang yang sehat (Price dan Wilson, 2006).
Tuberculosis
paru termasuk insidias. Sebagian besar pasien menunjukkan demam tingkat rendah,
keletihan, anorexia, penurunan berat badan, berkeringat malam, nyeri dada dan
batuk menetal. Batuk pada awalnya mungkin nonproduktif, tetapi dapat berkembang
ke arah pembentukan sputum mukopurulen dengan hemoptisis. Tuberculosis dapat
mempunyai manifestasi atipikal pada anak seperti perilaku tidak biasa dan
perubahan status mental, demam , anorexia dan penurunan berat badan. Basil
tuberkulosis dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman (Smeltzer
dan Bare, 2002).
Menurut
Admin (2007) patogenesis penyakit tuberkulosis pada anak terdiri atas :
1.
Infeksi Primer
Infeksi
primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet
yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap
disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembang biak dengan cara
pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran
limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini
disebut sebagai kompleks primer predileksinya disemua lobus, 70% terletak
subpelura. Fokus primer dapat mengalami penyembuhan sempurna, kalsifikasi atau
penyebaran lebih lanjut. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan
setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC2. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur).
Kadang kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi
sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
2.
TBC Pasca Primer (Post Primary TBC)
TBC pasca
primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi
primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau
status gizi yang buruk. Ciri khas dari TBC pasca primer adalah kerusakan paru
yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
D. Manifestasi Klinik
Menurut
Wirjodiardjo (2008) gejala TBC pada anak tidak serta-merta muncul. Pada
saat-saat awal, 4-8 minggu setelah infeksi, biasanya anak hanya demam sedikit.
Beberapa bulan kemudian, gejalanya mulai muncul di paru-paru. Anak batuk-batuk
sedikit. Tahap berikutnya (3-9 bulan setelah infeksi), anak tidak napsu makan,
kurang gairah, dan berat badan turun tanpa sebab. Juga ada pembesaran kelenjar
di leher, sementara di paru-paru muncul gambaran vlek. Pada saat itu,
kemungkinannya ada dua, apakah akan muncul gejala TBC yang benar-benar atau
sama sekali tidak muncul. Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya
tahan tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh. Setelah
bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi, melainkan di tulang,
ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya dan butuh waktu lama untuk
penyembuhannya.
Riwayat
penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya, Penyebab
TBC adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebetulnya, untuk mendeteksi
bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit. Pada orang dewasa bisa dideteksi
dengan pemeriksaan dahak langsung dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di
media. Mendeteksi TBC anak sangat sulit,
karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya dan gejalanya sedikit. Diperiksa
dahaknya pun tidak akan keluar, sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk
mendiagnosis anak TBC sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis
TBC anak adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan
pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, agak yakin anak positif TBC (Wirjodiardjo,
2008).
Gejala-gejala
lain untuk diagnosa antara lain (Wirjodiardjo, 2008):
1.
Apakah anak sudah mendapat imunisasi
BCG semasa kecil. Atau reaksi BCG sangat cepat. Misalnya, bengkak hanya
seminggu setelah diimunisasi BCG. Ini juga harus dicurigai TBC, meskipun
jarang.
2.
Berat badan anak turun tanpa sebab
yang jelas, atau kenaikan berat badan setiap bulan berkurang.
3.
Demam lama atau berulang tanpa
sebab. Ini juga jarang terjadi. Kalaupun ada, setelah diperiksa, ternyata tipus
atau demam berdarah.
4.
Batuk lama, lebih dari 3 minggu. Ini
terkadang tersamar dengan alergi. Kalau tidak ada alergi dan tidak ada penyebab
lain, baru dokter boleh curiga kemungkinan anak terkena TBC.
5.
Pembesaran kelenjar di kulit, terutama
di bagian leher, juga bisa ditengarai sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang
sekarang sudah jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh,
misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
6.
Mata merah bukan karena sakit mata,
tapi di sudut mata ada kemerahan yang khas.
7.
Pemeriksaan lain juga dibutuhkan
diantaranya pemeriksaan tuberkulin (Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak
normal, Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada anak
yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya negatif, karena tidak
memberikan reaksi terhadap MT.
Menurut
Supriyatno (2009) skrining tuberkulosis pada anak antara lain : Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak, terlebih pada anak-anak
yang masih sangat kecil, sangat sulit. Diagnosa tepat TBC tak lain dan
tak bukan adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC.
Caranya? Yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak. Pada orang
dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya, pada anak-anak
karena mereka, apalagi yang masih usia balita, belum mampu mengeluarkan dahak.
Karenanya, diperlukan alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
Kesulitan
lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak seringkali tidak spesifik
(khas). Cukup banyak anak yang overdiagnosed
sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya tidak. Atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah
sakit TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang
tepat. Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1 atau
2 tes saja, melainkan harus komprehensif. Karena tanda-tanda dan gejala
TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-satunya cara untuk memastikan anak
terinfeksi oleh kuman TB, adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes
Mantoux ini hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis atau tidak, dan sama
sekali bukan untuk menegakkan diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak
semua orang yang terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TB.
Sistem imun
tubuh mulai menyerang bakteri TB, kira-kira 2-8 minggu setelah
terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes Mantoux mulai bereaksi.
Ketika pada saat terinfeksi daya tahan tubuh orang tersebut sangat baik,
bakteri akan mati dan tidak ada lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada
orang lain, yang terjadi adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di
dalam tubuh dan sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang
lainnya lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TB.
Uji ini
dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil (0,1 ml) kuman TBC, yang
telah dimatikan dan dimurnikan, ke dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit
pada lengan bawah. Lalu, 48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus
melihat hasilnya untuk diukur. Yang diukur adalah indurasi (tonjolan
keras tapi tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya (erythema). Ukuran dinyatakan dalam
milimeter, bukan centimeter. Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi,
hasil tetap harus ditulis sebagai 0 mm.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila diameter
indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm. Namun, untuk bayi
dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor resiko TB, dikatakan positif
bila indurasinya berdiameter 15 mm atau lebih. Hal ini dikarenakan
pengaruh vaksin BCG yang diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian
lainnya adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang negatif palsu (anergi),
artinya hasil negatif padahal sesungguhnya terinfeksi kuman TB.
Anergi dapat terjadi apabila anak mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk
(gizi kurang tidak menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat
menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja divaksinasi dengan
virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru saja terinfeksi bakteri TB,
tata laksana tes Mantoux yang kurang benar. Apabila dicurigai terjadi
anergi, maka tes harus diulang.
E. Penatalaksanaan
Medis
Menurut
Price dan Wilson (2006) pengobatan TBC terutama
berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat ini juga
dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis. ATS (1994) menekankan
tiga prinsip dalam pengobatan tuberculosis yang berdasarkan pada:
1.
Regimen harus termasuk obat-obat multiple yang sensitif terhadap mikroorganisme.
2.
Obat-obatan harus diminum secara
teratur.
3.
Terapi obat harus dilakukan terus
menerus dalam waktu yang cukup untuk menghasilkan terapi yang paling efektif
dan paling aman pada waktu yang paling singkat.
Obat anti
tuberculosis (OAT) harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Tujuan dari pengobatan ini
adalah (FKUI, 2001):
1.
Membuat konversi sputum BTA positif
menjadi negatif secepat mungkin melalui kegiatan bakterisid.
2.
Mencegah kekambuhan dalam tahun
pertama estela pengobatan dengan kegiatan sterilisasi.
3.
Menghilangkan atau mengurangi gejala
dan lesi melalui perbaikan daya tahan imunologis.
F. Penatalaksanaan
Perawatan
Menurut
Hidayat (2008) perawatan anak dengan tuberculosis dapat dilakukan dengan
melakukan :
1.
Pemantauan tanda-tanda infeksi
sekunder
2.
Pemberian oksigen yang adekuat
3.
Latihan batuk efektif
4.
Fisioterapi dada
5.
Pemberian nutrisi yang adekuat
6.
Kolaburasi pemberian obat
antutuberkulosis (seperti: isoniazid, streptomisin, etambutol, rifamfisin,
pirazinamid dan lain-lain)
7.
Intervensi yang dapat dilakukan
untuk menstimulasi pertumbuhan perkembangan anak yang tenderita tuberculosis
dengan membantu memenuhi kebutuhan aktivitas sesuai dengan usia dan tugas perkembangan, yaitu (Suriadi dan Yuliani, 2001) :
a.
Memberikan aktivitas ringan yang
sesuai dengan usia anak (permainan, ketrampilan tangan, vidio game, televisi)
b.
Memberikan makanan yang menarik
untuk memberikan stimulus yang bervariasi bagi anak
c.
Melibatkan anak dalam mengatur
jadual harian dan memilih aktivitas yang diinginkan
d.
Mengijinkan anak untuk mengerjakan
tugas sekolah selama di rumah sakit, menganjurkan anak untuk berhubungan dengan
teman melalui telepon jika memungkinkan
G. Pengkajian
Menurut
Speer (2008) pengkajian fungsional pada anak dengan tuberculosis adalah sebagai
berikut :
1.
Integumen
Demam dan
menggigil
2.
Gastrointestinal
Penurunan
berat badan, anoreksia
3.
Respirasi
Batuk yang
hilang timbul, efusi pleura, kalsifikasi yang tampak pada foto toraks, hemoptysis
4.
Neurologis
Meningitis
5.
Muskuloskeletal
Infeksi
tulang
Menurut
Suriadi dan Yuliani (2001) riwayat keperawatan yang perlu dikaji pada anak
dengan tuberculosis adalah riwayat
kontak dengan individu yang terinfeksi penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
H. Diagnosa
Keperawatan
Menurut
Speer (2008) diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada anak dengan
tuberculosis adalah:
1.
Gangguan pertukaran gas yang
berhubungan dengan proses infeksi.
2.
Deficit pengetahuan tentang proses
infeksi berhubungan dengan kurang sumber informasi.
3.
Ketidakpatuhan yang berhubungan
dengan pengobatan dalam jangka waktu lama.
4.
Risiko gangguan dalam menjalankan
peran sebagai orang tua yang berhubungan dengan isolasi pasien.
5.
Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan adanya sekret.
6.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
I. Intervensi
Keperawatan
Menurut
Speer (2008) fokus intervensi yang dapat mengatasi diagnosa keperawatan
tersebut adalah :
1.
Gangguan pertukaran gas yang
berhubungan dengan proses infeksi.
-
Tujuan : Anak akan
mengalami pengurangan batuk dan dispnea.
-
Intervensi :
a.
Berikan oksigen humidifier bagi anak
dengan dispnea
·
Rasional : Dispnea masih dapat
terjadi, hingga pemberian obat kemoterapetik dimulai untuk mendapatkan efeknya,
oksigen humidifier mengurangi dispnea dan meningkatkan oksigenasi
b.
Tinggikan bagian kepala tempat tidur
·
Rasional : Peninggian kepala
menyebabkan otot diagframa mengembang
c.
Berikan obat batuk ekspektoran
sesuai dengan kebutuhan
·
Rasional : Ekspektoran membantu
melepaskan mucus.
2.
Defisit pengetahuan tentang proses
infeksi berhubungan dengan kurang sumber informasi.
-
Tujuan : Keluarga
dapat mengekspresikan pemahamannya tentang proses penyakit dan pengobatan.
-
Intervensi :
a.
Ajarkan orang tua dan anak tentang penularan
dan pengobatan TBC, misalnya buat orang tua, hendaknya menghindari anak dekat
dengan orang dewasa yang terkena tuberkulosa sedangkan buat anak sarankan untuk
melakukan pengobatan sampai selesai dan patuh dalam minum obat
·
Rasional : Pemahaman bagaimana
penularan TBC dan penanganannya membantu mengurangi kecemasan dan peningkatan
kepatuhan terhadap pengobatan, prosedur isolasi dan pengobatan yang diberikan.
b.
Ajarkan orang tua dan anak (jika
tepat) bagaimana memberikan pengobatan (contoh: antibiotik), berapa lama terapi
pengobatan harus dijalani, dan apa yang terjadi jira anak tidak manjelani
tuntas pengobatannya.
·
Rasional : Pemahaman bagaimana
memberikan pengobatan dan risiko bila pengobatan dihentikan di awal akan
meningkatkan kepatuhan.
c.
Pada saat anak diperbolehkan pulang,
berikan discharge planning atau perencanaan pulang mengenai :
1)
Jelaskan terapi yang diberikan,
dosis, efek camping, lama pemberian terapi dan cara minum obat.
2)
Melakukan immunisasi jika immunisasi
Belem lengkap sesuai dengan prosedur.
3)
Menekankan pentingnya control ulang
sesuai jadual.
4)
Informasikan jika terdapat
tanda-tanda terjadinya kekambuhan.
3.
Ketidakpatuhan yang berhubungan
dengan pengobatan dalam jangka waktu lama.
-
Tujuan : Orang tua
dan anak akan mengikuti pedoman terapi
-
Intervensi
a.
Kaji seberapa banyak pengetahuan
yang dimiliki orang tua dan anak, tentang TBC dan hal ketidakpahaman yang
dimiliki
·
Rasional : pengkajian membantu
menentukan apa yang orang tua dan anak butuhkan untuk relajar agar dapat
membantu mereka memenuhi pengobatan jangka panjang.
b.
Ajarkan orang tua dan anak (jika
tepat) tentang program pengobatan dan alasan menjalani pengobatan dengan
tuntas, dan yakinkan tentang pendidikan yang diperlukan.
·
Rasional : Pendidikan dan penguatan
diberikan pada orang tua dan anak dengan informasu perlunya mengikuti program
pengobatan dengan tuntas dan menurunkan risiko kegagalan akibat déficit
pengetahuan.
c.
Identifikasi alternatif pemberi
layanan yang dapat memberikan pengobatan anak jira diperlukan.
·
Rasional : hal ini akan menurunkan
risiko pengabaian dosis yang dilakukan anak selama pengobatan.
4.
Risiko gangguan dalam menjalankan
peran sebagai orang tua yang berhubungan dengan isolasi pasien
-
Tujuan : Anak tidak
akan mengalami kecemasan karena perpisahan berhubungan dengan penurunan kontak
parental.
-
Intervensi :
a.
Ajarkan orang tua tentang teknik
isolasi dengan benar.
·
Rasional : Pemahaman dan mengikuti
teknik isolasi membantu mencegah penularan TBC yang memungkinkan orang tua
bersama selama mungkin dengan anaknya, akan mengurangi perpisahan.
b.
Motivasi orang tua dan anggota
keluarga lainnya untuk mengunjungi secara teratur.
·
Rasional : Seringnya keluarga kontak
akan mengurangi kecemasan akibat perpisahan.
5.
Bersihan jalan nafas tidak efektif
berhubungan dengan adanya sekret.
-
Tujuan : Anak menunjukkan
jalan nafas yang efektif.
-
Intervensi :
a.
Auskultasi area paru, catat area
penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi napas adventisius, misal krekels,
mengi.
·
Rasional : penurunan aliran udara
terjadi pada area konsolidasi dengan cairan. Bunyi napas bronkhial dapat juga
terjadi pada area konsolidasi. Krekels, ronkhi dan mengi terdengar pada
inspirasi dan atau ekspirasi pada respons terhadap pengumpulan cairan/sputum.
b.
Mengkaji ulang tanda-tanda vital
(irama dan frekuensi,s erta gerakan dinding dada)
·
Rasional : takipnea, pernapasan
dangkal dan gerakan dada tidak simetris terjadi karena ketidaknyaman gerakan
dinding dada dan atau cairan paru-paru
c.
Bantu pasien latihan napas sering
dengan cara meniup balon atau terapi benam. Tunjukkan/bantu pasien mempelajari
melakukan batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk
tinggi.
·
Rasional : Napas dalam memudahkan
ekspansi maksimum paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme
pembersihan jalan napas alami membantu silia untuk mempertahankan jalan napas
paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan
upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.
d.
Penghisapan sesuai indikasi
·
Rasional : merangsang batuk atau
pembersihan jalan napas secara mekanik pada pasien yang tidak mampu melakukan
karena batuk tidak efektif atau penurunan tingkat kesadaran.
e.
Berikan cairan sedikitnya 2500
ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan air hangat dari pada dingin.
·
Rasional : Cairan (khususnya yang
hangat) memobilisasi dan mengeluarkan sekret.
f.
Berikan cairan tambahan, misalnya
IV, oksigen humidifikasi .
·
Rasional : Cairan diperlkukan untuk
menggantikan kehilangan (termasuk yang tidak tampak) dan memobilisasikan sekret.
g.
Memberikan obat yang dapat
meningkatkan efektifnya jalan nafas (seperti bronchodilator)
·
Rasional : alat untuk menurunkan
spasme bronkhus dengan memobilisasi sekret, obat bronchodilator dapat membantu
mengencerkan sekret sehingga mudah untuk dikeluarkan.
6.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
-
Tujuan : Anak
menunjukkan tanda-tanda terpenuhnya kebutuhan nutrisi
-
Intervensi :
a.
Kaji nafsu makan anak dan fasilitasi
anak dengan menyediakan makanan yang menarik dan hangat.
·
Rasional : Dapat menjadi dasar dalam
melakukan pendekatan pada anak saat memberi makan sehingga anak akan dapat
meningkatkan nafsu makannya.
b.
Ijinkan anak untuk memperbaiki
kualitas gizi pada saat selera makan anak meningkat.
·
Rasional : memungkinkan anak akan
mengkomsumsi makanan ektra sebagai tambahan suplay nutrisi.
c.
Berikan makanan yang disertai dengan
suplemen nutrisi untuk meningkatkan kualitas intake nutrisi.
·
Rasional : dalam mengobati penyakit
tuberkulosis diperlukan gizi yang cukup sehingga pemberian makanan dengan diet
tinggi protein dan kalori sangan diperlukan.
d.
Kolaburasi untuk pemberian nutrisi
parenteral jika kebutuhan nutrisi melalui oral tidak mencukupi kebutuhan gizi
anak.
·
Rasional : pemberian makanan
parenteral sangat perlu dilakukan jika anak tidak menelan makanan atau muntah
yang terus menerus.
e.
Menilai indikator terpenuhinya
kebutuhan nutrisi (berat badan, lingkar lengan dan membran mukosa)
·
Rasional : indikator penilaian
status nutrisi dapat menentukan jumlah nutrisi yang dibutuhkan oleh anak.
f.
Menganjurkan kepada orang tua untuk
memberikan makanan dengan porsi kecil tetapi sering.
·
Rasional : porsi kecil tetapi sering
memungkinkan anak dapat mengkomsumsi makanan dengan cukup.
g.
Menimbang berat badan setiap hari
pada waktu yang sama dan dengan skala yang sama.
·
Rasional : untuk memantau status
gizi atau perbaikan gizi anak.
h.
Mempertahankan kebersihan mulut anak.
·
Rasional : dapat meningkatkan nafsu
makan anak.
i.
Menjelaskan pentingnya intake
nutrsisi yanga dekuat untuk penyembuhan penyakit.
·
Rasional : pendidikan kesehatan
tentang nutrisi akan membuat orang tua dapat berpartisipasi dalam memberikan
gizi yang baik bagi anaknya.
J. Evaluasi
1.
Keefektifan bersihan jalan napas.
2.
Fungsi pernapasan adekuat untuk
menenuhi kebutuhan individu.
3.
Perilaku/pola hidup berubah untuk
mencegah penyebaran infeksi
4.
Kebutuhan nutrisi adekuat, berat
badan meningkat dan tidak terjadi malnutrisi.
5.
Pemahaman tentang proses
penyakit/prognosis dan program pengobatan dan perubahan perilaku untuk
memperbaiki kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,
A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan.
Cetakan I. Yakarta : Penerbit salemba Medika
Reuters
Health , (2007). Merokok pasif dikaitkan dengan risiko TB pada anak-anak
http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=0159. Diakses tanggal 16 MEI 2012
http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=0159. Diakses tanggal 16 MEI 2012
Smeltzer and
Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Suriadi
dan Yuliani, R. (2001). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan Keperawatan
Anak. Edisi 1. Jakarta : Penerbit CV Sagung Seto
0 Comments