A.
Pengertian
Benign
prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-kanker (noncancerous) dari
kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat membatasi aliran urin (kencing)
dari kandung kemih (bladder). Prostat Hiperplasia adalah pembesaran glandula
dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher
kandung kemih dan urethra, sehingga hipertropi prostat sering menghalangi
pengosongan kandung kemih (Doenges, 2002).
Benigna prostat hipertrofi adalah
pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah,
tetapi tidak ganas. Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral
yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
(Adel,2008)
B.
Etiologi
Penyebab BPH belum
jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000
hal 329)
Hingga sekarang masih
belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang
diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan
keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth
factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama
hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa
terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi
sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi
berlebihan.
C.
Patofisiologi
Menurut
Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada
traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi
perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher
vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai
akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor
ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai
(trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika
dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan
mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel.
Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor
akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
D.
Tanda dan Gejala
1. Hilangnya kekuatan
pancaran saat miksi (bak tidak lampias)
2. Kesulitan dalam
mengosongkan kandung kemih.
3. Rasa nyeri saat
memulai miksi
4. Adanya urine yang
bercampur darah (hematuri).
E.
Gejala Klinis
Gejala
klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Gejala Obstruktif yaitu :
a) Hesitansi
yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang
disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b) Intermitency
yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan
otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya
miksi.
c) Terminal
dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d) Pancaran
lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu
untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e) Rasa
tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2.
Gejala Iritasi yaitu :
a) Urgency
yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b) Frekuensi
yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
c) Disuria
yaitu nyeri pada waktu kencing.
F.
Komplikasi
Apabila
buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine
sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika
infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam
buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria
serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi
pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan
dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.
G.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan
Laboratorium
a.
Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit,
bakteri dan infeksi.
b.
Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status
metabolik.
c.
Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan
paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasa.
d.
Darah lengkap.
e.
Leukosit.
f.
Blooding time
g.
Liver fungsi
2. Pemeriksaan
Radiologi
a.
Prelograf intravena
b.
USG
c.
Sistoskopi
H. Penatalaksanaan
Menurut
Smeltzer (2002), terapi untuk benigna hipertropi prostat (BPH) ada 2 macam
yaitu konservatif dan operatif.
1. Konservatif
Terapi
konservatif dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan karena misalnya
menolak operasi, mempunyai sakit jantung berat dan kontra indikasi operasi
lainnya.Terapi konservatif yaitu mengusahakan agar prostat tidak mendadak
membesar karena terjadinya atau adanya infeksi sekunder dengan peran
antibiotik. Terapi untuk retensi urine yaitu dengan kateterisasi dengan 2 cara:
a.
Kateterisasi intermitten, buli-buli dapat dikosongkan dan kateter segera
dilepas, beberapa pasien kemudian akan dapat miksi sendiri dengan spontan,
b.
Kateterisasi indwiling sangat berguna terutama bila penderita dulunya juga
pernah mengalami retensi urine akut. Tiap hari hendaknya kateter dibersihkan
dan tiap minggu diganti dengan kateter baru. Pada tindakan ini hendaknya
disertai dengan perlindungan terhadap bahaya infeksi dengan memberikan juga
obat sulfa atau antibiotik.
2. Operatif
a.
Pernah obstruksi atau retensi berulang,
b.
Urine sisa lebih dari 50 cc
c.
Pada panendoskopi didapatkan trabekulasi yang jelas.
I.
Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Peningkatan tekanan
darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan
kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal.
- Penurunan kekuatan/
dorongan aliran urine, tetesan
- Ketidakmampuan untuk
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
- Dorongan dan
frekuensi berkemih
- Nokturia, disuria,
hematuria
- ISK berulang, riwayat
batu (status urinaria)
c. Konstipasi
Tanda: massa: Padat di
bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia
inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang
memerlukan pengosongan kandung kemih.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia,
mual, muntah, penurunan BB.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri
suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut)
f. Seksualitas
Gejala: masalah tentang
efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap
selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran,
nyeri tekan prostat.
2. Diagnosa Keperawatan
dan Intervensi
1) Retensi urine (akut/
kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi
otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil :
- Berkemih dengan
jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
- Menunjukkan risedu
pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan
aliran
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk
berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan
retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih.
b. Observasi aliran
urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional: Berguna untuk
mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
c. Awasi dan catat
waktu serta jumlah tiap berkemih
Rasional: Retensi urine
meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi
fungsi ginjal
d. Palpasi atau perkusi
area suprapubic
Rasional: Distensi
kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic
e. Awasi TTV dengan ketat,
observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan
dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan
fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa
toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
f. Beri/dorong kateter
lain dan perawtan perineal
Rasional: Menurunkan
resiko infeksi
g. Dorong masukan
cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan.
Rasional: Peningkatan
aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan
bakteri.
2) Nyeri (akut)
berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
Kriteria hasil:
- Pasien mengatakan
nyeri hilang atau terkontrol
- Pasien tampak rileks
- Pasien mampu untuk
tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi :
a. Kaji nyeri,
pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.\
Rasional:
memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi
b. Plester selang
drainase pada paha dan kateter abdomen
Rasional:
Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis scrotal
c. Pertahankan tirah
baring bila diindikasikan.
Rasional:
Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun
ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri
kolik.
d. Beri tindakan
kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas
dalam
Rasional:
Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan
kemampuan koping
3) Kekurangan volume
cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung
kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:
- Mempertahankan
hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba,
pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab.
Intervensi :
a. Awasi keluaran
dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200
ml/jam
Rasional:
Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena
ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus
ginjal
b. Dorong peningkatan
pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu
Rasional:
Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria,
homeostatik pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau
hipovolemia.
c. Awasi TD, nadi
dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
Rasional:
Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik
d. Tingkatkan tirah
baring dengan kepala tinggi
Rasional:
Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adel. 2008, Buku Ajar
Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ;
Jakarta.
Basuki B Purnomo, 2000,
Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD),
Jakarta.
Carpenito Linda Juan.
2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.
Doenges, M.E., Marry,
F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC\
Mansjoer, A. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.
Wilkinson, Judith M.
2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil
NOC. EGC: Jakarta
0 Comments