Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Benigna Prostat Hipertropi


A. Pengertian
Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran non-kanker (noncancerous) dari kelenjar prostat (prostate gland) yang dapat membatasi aliran urin (kencing) dari kandung kemih (bladder). Prostat Hiperplasia adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Kelenjar prostat mengitari leher kandung kemih dan urethra, sehingga hipertropi prostat sering menghalangi pengosongan kandung kemih (Doenges, 2002).
            Benigna prostat hipertrofi adalah pembentukan jaringan prostat yang berlebihan karena jumlah sel bertambah, tetapi tidak ganas. Benigna prostat hipertrofi adalah hiperflasi peri uretral yang merusak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Adel,2008)
B. Etiologi
Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut
2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar prostat
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati
4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan.
C. Patofisiologi
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.
Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
D. Tanda dan Gejala
1. Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi (bak tidak lampias)
2. Kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.
3. Rasa nyeri saat memulai miksi
4. Adanya urine yang bercampur darah (hematuri).
E. Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a)      Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b)      Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c)      Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d)     Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e)      Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a)      Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b)      Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c)      Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.



F. Komplikasi
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya lekosit, bakteri dan infeksi.
b. Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status metabolik.
c. Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasa.
d. Darah lengkap.
e. Leukosit.
f. Blooding time
g. Liver fungsi
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Prelograf intravena
b. USG
c. Sistoskopi
H. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer (2002), terapi untuk benigna hipertropi prostat (BPH) ada 2 macam yaitu konservatif dan operatif.

1. Konservatif
Terapi konservatif dilakukan bila terapi operasi tidak dapat dilakukan karena misalnya menolak operasi, mempunyai sakit jantung berat dan kontra indikasi operasi lainnya.Terapi konservatif yaitu mengusahakan agar prostat tidak mendadak membesar karena terjadinya atau adanya infeksi sekunder dengan peran antibiotik. Terapi untuk retensi urine yaitu dengan kateterisasi dengan 2 cara:
a. Kateterisasi intermitten, buli-buli dapat dikosongkan dan kateter segera dilepas, beberapa pasien kemudian akan dapat miksi sendiri dengan spontan,
b. Kateterisasi indwiling sangat berguna terutama bila penderita dulunya juga pernah mengalami retensi urine akut. Tiap hari hendaknya kateter dibersihkan dan tiap minggu diganti dengan kateter baru. Pada tindakan ini hendaknya disertai dengan perlindungan terhadap bahaya infeksi dengan memberikan juga obat sulfa atau antibiotik.
2. Operatif
a. Pernah obstruksi atau retensi berulang,
b. Urine sisa lebih dari 50 cc
c. Pada panendoskopi didapatkan trabekulasi yang jelas.
I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Sirkulasi
Peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)
b. Eliminasi
Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-raguan pada berkemih awal.
- Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan
- Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap
- Dorongan dan frekuensi berkemih
- Nokturia, disuria, hematuria
- ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)
c. Konstipasi
Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid (mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang memerlukan pengosongan kandung kemih.
d. Makanan/ cairan
Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.
e. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada prostatisis akut)
f. Seksualitas
Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas. Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.
Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1) Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.
Kriteria hasil :
- Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih
- Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan aliran
Intervensi :
a. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan
Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada kandung kemih.
b. Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan
Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
c. Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih
Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
d. Palpasi atau perkusi area suprapubic
Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic
e. Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat
Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke penurunan ginjal total.
f. Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal
Rasional: Menurunkan resiko infeksi
g. Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung bila diindikasikan.
Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan kandung kemih dan pertumbuhan bakteri.

2) Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.
Kriteria hasil:
- Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol
- Pasien tampak rileks
- Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang
Intervensi :
a. Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.\
    Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan intervensi
b. Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen
    Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan penis scrotal
c. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
    Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik.
d. Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi yang nyaman, latihan nafas dalam
    Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dapat meningkatkan kemampuan koping

3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Kriteria hasil:
- Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa lembab.
Intervensi :
a. Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam
   Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total cairan, karena ketidakcukupan       jumlah natrium diabsorbsi dalam tubulus ginjal
b. Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu
    Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol gejala urinaria, homeostatik   pengurangan cadangan dan peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia.
c. Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan membran mukosa oral.
    Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik
d. Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi
    Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis sirkulasi.




DAFTAR PUSTAKA
Adel. 2008, Buku Ajar Ilmu Bedah, Editor : R. Syamsuhidajat, Wim De Jong, Edisi revisi : EGC ; Jakarta.

Basuki B Purnomo, 2000, Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD), Jakarta.

Carpenito Linda Juan. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. EGC: Jakarta.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC\

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. EGC: Jakarta.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta

Post a Comment

0 Comments

1