Stroke adalah penyakit gangguan fungsional otak
fokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang
terkena, yang sebelumnya tanpa peringatan, dan yang dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan cacat atau kematian, akibat gangguan aliran darah ke otak karena
perdarahan ataupun non perdarahan (Junaidi Iskandar, 2002)
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya
mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang
berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatic (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000)
B. Etiologi
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), etiologi stroke
adalah :
1. Trombosist
Adalah gumpalan darah yang ada didalam dinding
pembuluh darah, perlahan akan menutup akibat penyimpanan kolesterol dalam
dinding arteri. Tanda-tanda trombosit bervariasi, misal : sakit kepala, pusing
kejang dan kehilangan bicara sementara, paralysis dan tanda ini tidak terjadi
secara tiba-tiba.
2. Embolisme Serebral
Adalah bekuan darah yang dibawa ke otak dari bagian
tubuh yang lain. Emboli ini berasal dari thrombus dalam jatung sehingga emboli
ini merupakan perwujudan dari penyakit jantung.
3. Ischemia
Adalah penurunan aliran darah ke otak
4. Hemorragic Serebral
Adalah perdarahan pada otak akibat pecahnya pembuluh
darah serebral sehingga darah masuk ke dalam jaringan otak atau disekitar otak.
C. Patofisiologi
Menurut Lany Sustiyani Syamsir Alam dan
Iwan Hadibroto, 2003 dalam kehidupan sehari-hari otak membutuhkan suplai darah
yang konstan di mana dalam hal ini semua perubahan-perubahan tekanan perfusi
dari sistem sirkulasi sentral dipelihara oleh suatu fenomena auto regulasi.
Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cidera pada
otak melalui empat mekanisme, yaitu :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan
penyempitan atau penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke
bagian otak tidak adekuat, serta selanjutnya akan mengakibatkan
perubahan-perubahan iskhematik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian rupa
hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis (infark)
2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan
hancurnya darah ke jaringan (hemorrhage)
3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah
yang menekan jaringan otak.
4. Rdema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di
ruang interstisiel jaringan otak.
Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula
hanya menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis
cukup hebat dan melampui batas kristis terjadi pengurangan aliran secara
drastic dan cepat.
Akulasi suatu arteri otak akan menimbulkan Reduksi
perfusi suatu area di mana jaringan otak normal sekitarnya masih mempunyai
pendarahan yang baik berusaha untuk membantu mensuplai darah melalui
jalur-jalur anastomosis yang ada. Selanjutnya akan terjadi edema di daerah ini.
Selama berlangsungnya peristiwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi,
sehingga aliran darah akan mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan
darah arteri. Disamping itu reaktifitas serebrovaskuler terhadap PCO2
terganggu. Berkurangnya aliran darah serebral sampai tahap ambang tertentu akan
melalui serangkaian gangguan fungsi neuroral. Bila aliran darah berkurang
sampai di bawah ambang fungsi elektrik, fungsi kortikal terganggu, namun
neuron-neuron masih tetap hidup sampai aliran darah turun di bawah ambang
kerusakan permanen, dan saat ini akan terjadi kerusakan jaringan yang permanen.
D. Gejala Klinis
Menurut Junaidi Iskandar (2002), gejala klinis
stroke berupa:
1. Kesemutan atau gangguan sensibilitas dan kelemahan
dari anggota gerak termasuk wajah.
2. Kesulitan berbicara memahami pembicaraan atau
tiba-tiba menjadi bingung
3. Gangguan penglihatan pada satu atau kedua mata
4. Kesulitan berjalan, sempoyongan atau kehilangan
keseimbangan
5. Nyeri kepala hebat dengan sebab yang tidak jelas
disertai mual dan muntah
6. Perubahan mendadak tingkah laku / status mental
7. Disartria (bicara pelo/ cedal)
E. Klasifikasi
Klasifikasi dari stroke ada dua macam, menurut Lanny
Sustiani, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto (2003), adalah :
1. Stroke Non Haemorragic
Stroke disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut
:
a. Menumpuknya lemak pada pembuluh darah yang
menyebabkan mulai terjadinya pembekuan darah.
b. Benda asing dalam pembuluh darah jantung
c. Adanya lubang pada pembuluh darah sehingga darah
bocor yang mengakibatkan aliran darah ke otak berkurang.
2. Stroke Haemorragic
Stroke ini disebabkan karena salah satu pembuluh
darah di otak bocor atau pecah sehingga darah mengisi ruang sel-sel otak.
a. Darah tinggi yang dapat menyebabkan pembuluh darah
pecah
b. Peleburan pada pembuluh darah yang menyebabkan
pembuluh darah pecah
c. Tumor pada pembuluh darah
Perbedaan Stroke Non Haemorragic dan Stroke
Haemorragic
Gejala
|
Stroke Non Haemorragic
|
Stroke Haemorragic
|
Saat kejadian
Nyeri kepala
Kejang
Muntah
Adanya tanda peringatan
|
Mendadak, istirahat
Ringan
Tidak ada
Tidak ada
Ada
|
Mendadak, sedang aktif
Hebat
Ada
Ada
Tidak ada
|
F. Faktor-Faktor Resiko
Menurut Junaidi Iskandar, (2002) faktor-faktor
resiko stroke terdiri dari:
1. Faktor resiko yang dapat dikontrol, adalah :
a. Hipertensi
b. Diabetes Melitus
c. Merokok
d. Penyakit jantung
e. Kegemukan / obesitas
f. Hiperkolesterolemia dan hiperurikemia
g. Kelainan arteri karotis
h. Hiperkoagulasi (darah mudah menggumpal)
i.
Konsumsi
alkohol berlebihan
j.
Penyalahgunaan
obat
k. Gangguan pernafasan saat tidur (sleep apnea)
l.
Pernah terjadi
serangan / Transient Ischemic Attack (TIA) sebelumnya.
2. Faktor yang tidak dapat dikontrol, adalah :
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Ras / Suku Bangsa
d. Kelainan bawaan / herediter
e. Riwayat stroke / TIA sebelumnya
G. Komplikasi
Menurut Sjaifoellah Noer, (2002), komplikasi dari
stroke yaitu :
1. Depresi
Dampak yang menyulitkan penderita dan orang di
sekitarnya. Oleh karena itu keterbatasan akibat kelumpuhan, sulit berkomunikasi
sehingga penderita stroke dapat mengalami depresi.
2. Darah beku
Terbentuk pada jaringan yang lumpuh (kaki) dapat
mengakibatkan pembengkakan
3. Radang paru-paru / pneumonia
Dampak stroke dapat memungkinkan penderita kesulitan
menelan, batuk-batuk sehingga cairan terkumpul di paru-paru.
4. Dekubitus
Saat mengalami stroke usahakan untuk selalu
berpindah dan bergerak secara teratur. Bagian yang biasa mengalami memar adalah
pinggul, pantat, sendi kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat bisa
menjadi infeksi, keadaan ini dapat menjadi parah bila berbaring di tempat tidur
yang basah.
H. Pemeriksaan Radiologi
Menurut Junaidi Iskandar, (2002) pemeriksaan
radiologi berupa:
1. CT. SCAN
Untuk membedakan antara stroke hemorrhagic dan non
hemorrhagic
2. Angigrafi
Untuk melihat gambaran pembuluh darah yang patologis
3. EEG
Untuk melihat area yang spesifik dari lesi otak
4. MRI
Untuk mengetahui adanya perdarahan
5. Brainplan
Untuk mengetahui adanya infark hemorrhagic, hematoma
dan malformasi dari arteri dan vena.
6. Dopler Ultrasonography
Untuk mengetahui ukuran dan kecepatan aliran darah
yang melalui pembuluh darah
7. Skuli Rontgenogram
Untuk mengetahui klasifikasi intra kranial
8. Digital Substraction Angiography
Untuk mengetahui adanya aklusi atau penyempitan
pembuluh darah terutama kolusi arteri karotif
9. Eshoencephalography
Untuk mengetahui adanya pergeseran dari struktur
midline
10. B. Mode Ultrasound
Untuk mengukur tekanan darah melalui pembuluh darah
leher.
I. Nursing Care Plan (NCP)
1. Pengkajian (Doenges, 2001)
a. Riwayat kesehatan pasien
1) Keluhan utama
2) Penyakit sekarang
3) Penyakit dahulu
4) Riwayat sosial
b. Aktivitas istirahat
Gejala : Kesulitan beraktivitas karena hemiplegia /
hemiparase
Tanda : Gangguan tonus otot
(flaksid/spastik) dan terjadi kelemahan umum, gangguan penglihatan, gangguan
tingkat kesadaran
c. Sirkulasi
Gejala : Adanya penyakit jantung dan riwayat
hipotensi postural
Tanda : - Hipertensi vaskuler
-
Frekuensi nadi
yang bervariasi
-
Disaritmia
-
Desiran
karotis, femoralis, arteri iliaka
d. Integritas ego
Gejala : Perasaan tidak berdaya
Tanda : emosi lebih à kesulitan mengekspresikan diri
e. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia / anuria, distensi abdomen,
ileus paralitik
f. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia, mual , muntah pada fase akut,
kehilangan sensasi
Tanda : kesulitan menelan
g. Neurosensori
Gejala : Sinkope, sakit kepala,
hilangnya sensibilitas, hemiplegia, atau hemiparese, penglihatan menurun
Tanda : Penurunan tingkat kesadaran,
paralysis wajah, afasia motoril / sensorik, penurunan respon terhadap rangsang,
penurunan kemampuan motoris, ukuran dan reaksi pupil yang tidak sama
h. Nyeri / ketidakseimbangan
Gejala : Headache
Tanda : Tingkah laku tidak stabil, gelisah,
ketegangan pada otot / facia
i.
Pernafasan
Gejala : Merokok (faktor resiko)
Tanda : ketidakmampuan menelan / batuk, sonki,
dispnoe
j.
Keamanan
Tanda : Perubahan persepsi terhadap sensori, tidak
mampu mengenal objek, kesulitan menelan
k. Interaksi sosial
Tanda : Masalah bicara / ketidakmampuan komunikasi
l.
Penyuluhan /
pembelajaran
Gejala : Riwayat hipertensi keluarga
2. Pengkajian fungsi saraf cranial
a. Olfaktorius ( I )
Menunjukkan penurunan sensori penciuman / penghidup
b. Obtikus ( II )
Adanya penurunan ketajaman penglihatan karena
penurunan sensorik
c. Okulomotorius ( III )
Klien tidak mampu mengangkat kelopak mata, pupil
akan miosis atau tidak dapat mengkontraksikan pupil dan sebagian gerakan ekstra
okuler terganggu.
d. Troklearis ( IV )
Klien tidak dapat menggerakkan mata ke bawah dan ke
dalam
e. Trigeminus ( V )
Gangguan pada otot temporalis dan masseter serta
gerak rahang ke lateral. Penurunan respon sensorik pada rangsangan di kulit
wajah 2/3 depan kulit kepala mukosa mata, dan hidung, rongga mulut, lidah dan
gigi, gangguan reflek berkedip.
f. Fasialis ( VI )
Ekspresi wajah tidak norma, gangguan laktima dan
salvias, penurunan fungsi pengecapan bagian depan lidah (manis, asam, asin)
g. Vestibulo koklearis ( VII )
Keseimbangan tubuh dan pendengaran terganggu /
menurun
h. Glosofaringeus ( VIII )
Sulit menelan, tidak ada reflek muntah, gangguan
salivasi gangguan pengecapan, lidah belakang, gangguan pada faring
i.
Vagus ( IX )
Gangguan pada saluran pencernaan
j.
Accesorius ( X
)
Ketidakmampuan menggerakkan kepala dan bahu
k. Hyplogossus
Gangguan pergerakan lidah
3. Diagnosa keperawatan (Suddarth & Brunner, 2001)
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral yang
berhubungan dengan adanya sumbatan pembuluh darah otak, perdarahan otak,
vasospasmus otak, oedem cerebral.
1) Tujuan : Perfusi jaringan otak dapat dipertahankan
secara adekuat setelah dilakukan tindakan keperawatan
2) Kriteria hasil
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Peningkatan sensori
2.
Perbedaan
rangsang
3.
Tidak
parestesia
4.
Tidak
hiperparesia
|
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai
3) Intervensi
a) Kaji faktor penyebab penurunan perfusi cerebral dan
potensial peningkatan tekanan intrakranial
b) Monitor status neurologi setiap hari
c) Monitor tanda-tanda vital tiap jam
d) Evaluasi pupil, ukuran, bentuk kesamaan, respon
terhadap cahaya
e) Kaji perubahan penglihatan kabur, lapang pandang
menurun
f) Beri tirah baring dan lingkungan yang nyaman
g) Cegah mengejan saat BAB dan menahan nafas
h) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian O2
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang
berhubungan dengan tidak sadar atau batuk tidak efektif
1) Tujuan : Bersihan jalan nafas kembali efektif
setelah dilakukan tindakan keperawatan. (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Tidak ada
demam
2.
Tidak ada
kecemasan
3.
RR dalam
batas normal
4.
Irama nafas
normal
5.
Tidak ada
suara tambahan
|
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji dan pantau pernafasan, reflek batuk dan sekresi
b) Kaji program analgetik
c) Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari
obstruksi jalan nafas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
d) Pasang bantuan alat nafas
e) Atur posisi kepala lebih tinggi ± 30 o
f) Berikan cairan ± 3 liter untuk mengencerkan sekresi
c. Kurang perawatan diri yang berhubungan dengan
gangguan neuro muscular, penurunan kekuatan dan ketahanan otot serta penurunan
Koordinasi otot
1) Tujuan : Perawatan diri pasien meningkat setelah
diberikan tindakan keperawatan. (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Makan
2.
Ganti pakaian
3.
Toileting
4.
Mandi
5.
Berhias
6.
ambulasi
jalan
|
Ket:
1. Tergantung penuh
2. Butuh bantuan alat dan orang
3. Butuh bantuan orang
4. Butuh bantuan alat
5. Mandiri
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji kemampuan klien untuk melakukan kegiatan
sehari-hari
b) Berikan bantuan seperlunya pada hal-hal yang pasien
mampu melakukannya
d. Gangguan sensori perceptual yang berhubungan dengan
gangguan sensori penerimaan, transmisi dan integrasi.
1) Tujuan : Mengembalikan fungsi persepsi sensorik agar
mengarah ke pemulihan / normal dan komplikasi dapat dicegah atau seminimal
mungkin tidak terjadi (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Penglihatan
2.
Reflek mata
3.
Tidak ada
pusing
4.
Fungsi saraf
otonom
5.
Gerakan otot
wajah
|
Ket:
1. Sangat tidak sesuai
2. Sering tidak sesuai
3. Kadang tidak sesuai
4. Jarang tidak sesuai
5. Sesuai
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji respon sensorik terhadap rabaan panas / dingin
/ tajam / tumpul dan catat perubahan yang terjadi
b) Koreksi
kemampuan pasien berorientasi terhadap orang, tempat dan waktu
c) Bicara dengan pasien, dengan tenang, gunakan kalimat
sederhana
d) Berikan pengamanan di sisi tempat tidur
e. Gangguan eliminasi urine : inkontinensia yang
berhubungan dengan hilangnya kemampuan kontrol eliminasi urin sekunder pada
gangguan motor saraf unilateral.
1) Tujuan : Klien dapat mengontrol pengeluaran urine
(Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Mengenal
sensasi BAK yang urgen
2.
memperkirakan
pola BAK
3.
Berespon
waktu atau kebiasaan untuk Bak
4.
Bebas urine
tertahan diantara berkemih
|
Ket:
1. Tidak pernah bisa melakukan
2. Jarang bisa melakukan
3. Kadang bisa melakukan
4. Sering bisa melakukan
5. Selalu bisa melakukan
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Monitor dan catat inkontinensia urine
b) Tawarkan urinal, bila mungkin ke kamar mandi setiap
2 – 3 jam
c) Ajarkan dan anjurkan pasien melakukan latihan
parineal : dengan cara menahan kemih dan mengeluarkan kembali pada pertengahan
berkemih, meregangkan dan melemaskan otot-otot untuk memperbaiki tonus
spinchter uretra
d) Atur agar intake cairan lebih sedikit pada sore hari
untuk mengurangi kemungkinan inkontinensia pada malam hari
e) Anjurkan pasien menghindari minum-minuman yang
mengandung kafein (kafein adalah sejenis diuretic)
f) Konsultasikan ke dokter, bila memerlukan pemasangan
DC
f. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
adanya kelemahan parestesia, kelumpuhan flacsial, hipotonik, kelumpuhan spastik
1)
Tujuan :
Mobilitas fisik klien tidak tergantung setelah dilakukan tindakan keperawatan
(Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Menjaga
keseimbangan tubuh
2.
Menjaga
posisi tubuh
3.
Pergerakan
otot (ekstremitas)
4.
Pergerakan
sendi (ekstremitas)
5. Ambulasi jalan
|
Ket:
1. Tergantung penuh
2. Butuh bantuan orang lain dan alat
3. Butuh bantuan orang lain
4. Butuh bantuan alat
5. Mandiri
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji tingkat kemampuan dalam melakukan aktivitas
tiap hari
b) Observasi keadaan integritas kulit
c) Lakukan alih baring tiap 2 – 4 jam
d) Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai
kemampuannya
e) Kolaborasi dengan fisioterapi
g. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan
gangguan sirkulasi cerebral, gangguan saraf dan otot, kehilangan otot wajah /
mulut umumnya karena kelemahan, kelelahan
1) Tujuan : Komunikasi klien tidak terganggu setelah
dilakukan tindakan keperawatan (Marion Johnson, 2000)
2) Kriteria hasil (Marion Johnson, 2000)
Indikator
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1.
Menggunakan
bahasa tulisan
2.
Menggunakan
bahasa lisan
3.
Menggunakan
gambar
4.
Menggunakan
bahasa non verbal
|
Ket:
1. Tidak pernah sesuai harapan
2. Jarang sesuai harapan
3. Kadang sesuai harapan
4. Sering sesuai harapan
5. Selalu sesuai harapan
3) Intervensi (Joanne Mc.Closkey, 1996)
a) Kaji tingkat ketidakmampuan pesan
b) Dengarkan dengan seksama pembicaraan pasien dari
feed bed oleh perawat, arti kata-kata yang dimaksud
c) Libatkan keluarga untuk melatih bicara
d) Konsultasikan dengan speech terapi sesuai indikasi
II. Diabetes Mellitus
A.
Pengertian
1.
Diabetes mellitus (DM) adalah gangguan metabolik yang
dikarakteristikkan oleh hiperglikemia, dan diakibatkan dari kerusakan produksi
insulin (Sandra M. Nettina, 2002).
2.
Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronis
yang disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh
darah, disertai lesi pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop
elektron (Arif Mansjoer, 1999).
B.
Etiologi (Suddarth & Brunner, 2001)
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) disebabkan
oleh destruksi sel β pulau langerhans akibat proses autoimun. Diabetes mellitus
tidak tergantung insulin (DM TTI) disebabkan kegagalan relatif sel β dan
resistensi insulin.
Serangan autoimun pada DM tipe I dapat timbul setelah
infeksi virus misalnya gondongan (MUMPS), rubeia, sitomegali virus tronik atau
gotongan obat nitro samin yang terdapat pada daging yang diawetkan. Pada saat
diagnosis DM tipe I ditegakkan, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau
langerhans pada sebagian besar pasien. Salah satu kemungkinan seseorang
membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans adalah bahwa terdapat
suatu agen lingkungan yang secara antigens mengubah sel-sel pankreas untuk
merangsang pembentukan autoantobodi.
DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukan. Selain
itu pengaruh genetik yang menentukan kegemukan seseorang mengidap penyakit ini,
cukup kuat.
C.
Patofisiologis
Hipoglikemia adalah glukosa darah yang kurang dari 50 mg/100
ml darah. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh puasa, atau khususnya puasa yang
disertai olah raga, karena olah raga meningkatkan pemakaian glukosa oleh
sel-sel, otot rangka. Namun hipoglikemia lebih sering disebabkan oleh kebiasaan
dosis insulin pada pengidap diabetes dependen-insulin. Karena otak memerlukan
glukosa darah sebagai sumber energi utama. Maka hipoglikemia menyebabkan
timbulnya berbagai gejala gangguan fungsi susunan saraf pusat (SSP) berupa
konfusi, iritabilitas kejang dan koma. Hipoglikemia dapat menyebabkan nyeri
kepala, akibat perubahan aliran darah otak dan perubahan keseimbangan air.
Secara sistematis, hipoglikemia menyebabkan pengaktivan sistem saraf simpatis
yang merangsang rasa lapar, kegelisahan, berkeringat dan takikardia.
Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa darah
yang tinggi dari pada rentang kadar puasa normal 80-90 ml/100 ml darah, atau
rentang nono puasa sekitar 140-160 mg/100 ml darah. Hiperglikemia biasanya
disebabkan oleh defisiensi insulin, seperti dijumpai pada diabetes tipe I, atau
karena penurunan responsivitas sel terhadap insulin, seperti dijumpai pada
diabetes tipe II hiperkortisolemia, yang terjadi pada sindrom cushing dan
sebagai respon terhadap stress kronik, dapat menyebabkan hiperglikemia melalui
perangsangan glukoneogenesis hati. Keadaan akut kelebihan hormon tiroid,
prolaktin, dan hormon pertumbuhan dapat menyebabkan peningkatan glukosa darah.
Peningkatan kadar hormon-hormon tersebut dalam jangka panjang, terutama hormon
pertumbuhan dianggap diabetogenik (menimbulkan diabetes).
Pengolahan bahan makan dimulai di mulut kemudian ke
lambung dan selanjutnya ke usus, didalam saluran pencernaan itu makan dipecah
menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein
menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan
diserap oleh usus kemudian masuk kedalam pembuluh darah dan diedarkan ke
seluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ didalam tubuh sebagai bahan
bakar. Supaya dapat berfungsi dengan bahan bakar, zat makanan itu harus masuk
dulu kedalam sel supaya dapat diolah. Didalam sel, zat makanan terutama glukosa
dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya
energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin
memegang peran yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa kedalam
sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah
suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta di pankreas.
1.
Pankreas
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya dibelakang
lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada
beta, karena itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang
mengeluarkan hormon insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glukosa
darah.
2.
Kerja insulin
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat
diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa
kedalam sel, untuk kemudian didalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi
tenaga. Bila insul;in tidak ada, maka glukosa tak dapat masuk sel dengan akibat
glukosa akan tetap berada didalam pembuluh darah yang artinya kadarnya didalam
darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan jadi lemah karena tidak
ada sumber energi didalam sel. Inilah yang terjadi pada diabetes mellitus tipe
I.
Pada diabetes mellitus tipe II jumlah insulin normal,
malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada
permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai
lubang kunci pintu masuk kedalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang
kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang
kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga
sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa didalam pembuluh darah
meningkat.
Kadar gula yang tinggi dalam waktu yang lama
mengakibatkan gula darah pekat dan terjadi pengendapan yang menimbulkan
aterosklerosis sehingga meningkatkan tekanan darah/ hipertensi.
D.
Klasifikasi
Menurut Tjokro Pawiro Askandar, (2001) klasifikasi Diabetes
mellitus terdiri dari:
1.
Diabetes mellitus tipe I (DM tergantung insullin/ IDDM)
Gambaran kliniknya biasanya timbul pada masa kanak-kanak,
tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa.
2.
Diabetes melitus tipe 2 (Tidak tergantung insullin/
NIDDM)
Timbul makin sering setelah umur 40 tahun dengan catatan
pada dekade ke 7 kekerapatan diabetes mencapai 3 sampai 4 kali lebih tinggi
dari pada rata-rata orang dewasa. Pada keadaan dengan kadar glukosa darah tidak
terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke
rumah sakit atau dokter.
E.
Tanda dan Gejala
Menurut Arief Mansjoer, (1999) tanda dan gejala DM
terdiri dari:
1.
Poliuri
Ketika kadar glukosa darah meningkat ke tingkat pada saat jumlah glukosa
yang difiltrasi melebihi kapasitas. Sel-sel tubulus melakukan reabsorbsi,
glukosa akan timbul di urin (glukosuria), glukosa di urin menimbulkan efek
osmotik yang menarik H2O bersamanya menimbulkan diuresis osmotik
yang ditandai oleh poliuria.
2.
Polidipsi
Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi, yang pada
gilirannya dapat menyebabkan tegangan sirkulasi perifer karena volume cairan
turun mencolok. Sehingga sel-sel kehilangan air karena tubuh mengalami
dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan ekstra sel
yang hipertonik. Rasa haus yang berlebih sebenarnya merupakan kompensasi untuk
mengatasi dehidrasi.
3.
Polifagia
Akibat penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel, disertai oleh
peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati meningkat karena proses yang
menghasilkan glukosa yaitu glikogenolisis dan glikoneogenesis, berlangsung
tanpa hambatan karena insulin tidak ada, karena sebagian besar sel tubuh tidak
dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, sehingga terjadi kelebihan
glukosa di ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa intra sel akibatnya
nafsu makan meningkat.
F.
Komplikasi
Menurut Tjokro Pawiro Askandar, (2001) komplikasi DM terdiri dari:
1.
Komplikasi akut
a.
Hipoglikemia
b.
Diabetes Ketoasidosis
c.
Sindrom HHNIK (Koma Hiperglikemik Hiperosmoler)
2.
Komplikasi jangka panjang
a.
Komplikasi makrovaskuler
1)
Penyakit arteri koroner
2)
Penyakit serebrovaskuler
3)
Penyakit vaskuler perifer
b.
Komplikasi Mikrovakuler
1)
Retinopati diabetik
Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh
perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata.
2)
Nefropati
Bila kadar glukosa darah tinggi maka mekanisme filtrasi ginjal akan
mengalami stres yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai
akibatnya, tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat, kenaikan tekanan
tersebut diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.
G.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan penunjang menurut Donges, (2000) adalah
sebagai berikut
a.
Glukosa darah : Meningkat 200-100 mg/dL atau lebih
b.
Aseton plasma (keton) : Positif secara mencolok
c.
Asam lemak bebas : Kadar lipd dan kolesterol meningkat
d.
Osmolalitas : Meningkat tetapi biasanya kurang dari 330
mOsn/lt
e.
Elektrolit
1)
Natrium : Mungkin normal, meningkat atau menurun
2)
Kalium : Normal atau peningkatan semua (perpindahan
selulosa) selanjutnya akan menurun
3)
Fosfor : lebih sering menurun
f.
Gas darah arteri. Biasanya menunjukkan pH rendah dan
penurunan pada HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis
respiratorik.
g.
Trombosit darah. Ht mungkin meningkat (dehidrasi)
leukositosis hemokonsentrasi merupakan respons terhadapstress atau infeksi.
h.
Ureum/ kreatinin. Mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/
penurunan fungsi ginjal)
i.
Amilase darah. Mungkin meningkat yang mengindikasikan
adanya pakreatitis akut sebagai penyebab dari DKA
H.
Penatalaksanaan Medis (Askandar Tjokro Pawiro, 2001)
1.
Diet
Penentuan jumlah kalori diet diabetes disesuaikan dengan
status gizi penderita. Penentuan gizi penderita dilaksanakan dengan menghitung
percentage of relative body weight (BBR : berat badan relatif) dengan rumus:
(BB = kg, TB : cm)
a.
Kurus (= BBR < 90%)
b.
Normal (ideal) : BBR 90-110%
c.
Gemuk : BBR > 110%
d.
Obesitas, apabila BBR > 20% :
1)
Obesitas ringan 120-130%
2)
Obesitas ringan 130-140%
3)
Obesitas berat 140-200%
4)
Obesitas Morbid > 200%
Dalam praktek, sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari untuk
penderita DM yang bekerja biasa adalah :
b.
Kurus : BB x
40-60 kalori sehari
c.
Normal : BB x
30 kalori sehari
d.
Gemuk : BB x
20 kalori sehari
e.
Obesitas : BB x
10-15 kalori sehari
2.
Latihan Fisik
a.
Manfaat
1)
Meningkatkan kepekaan Insulin apabila dikerjakan setiap
11/2 jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin resistance pada
penderita dengan kegemukan atau menambah jumlah reseptor insulin dan
meningkatkan sensitivitas insulin dengan reseptornya.
2)
Memperbaiki aliran darah perifer dan menambah oxygen
supply.
3)
Menurunkan kolesterol dan trigliserida dalam darah,
karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
3.
Pemantauan
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri,
dengan cara ini memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemi dan
hiperglikemi, dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang
kemungkinan akan mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.
4.
Pengobatan/ Terapi
a.
Golongan sulfonilurea
1)
Short acting: Tolbutamide, Glycodiazine, Tolazamide
mempunyai waktu paruh sekitar 4 jam, kerja cepat, diberikan 1-3 kali sehari
(pagi, siang, sore). Apabila pemberian cukup dua kali sehari maka berikan pagi
dan siang dan bila pemberiannya cukup sekali, berikan pada pagi hari.
2)
Intermediate
Mempunyai waktu paruh antara 5-8 jam, diberikan 1-2 kali sehari (pagi dan
siang) jangan pagi dan malam. Apabila diberikan satu kali, maka diberikan pada
pagi hari saja.
Contoh :
·
Glibenclamide (Euglocon, Daonil)
·
Gliclazide (Diamicron)
·
Gliquidone (Glurenorm)
3)
Long acting
Mempunyai waktu paruh antara 24-36 jam, diberikan sekali saja setiap
pagi.
Contoh : Chlorpropamide.
b.
Golongan Biguanide
Obat ini hanya dapat digunakan jika masih terdapat insulin. biguanide
tidak memberikan efek-efek pada sel beta pankreas.
Contoh: Metformin (Glucophage)
c.
Arkbose (Cepobay)
Diberikan bersamaan dengan suap pertama tiap makan, umumnya 3x1 tablet/
hari.
d.
Repaglinide (Novonorm)
Diberikan setiap sebelum makan utama.
e.
Insulin
1)
Short acting insulin
Contoh: insulin reguler (yang ditandai “R” pada botolnya)
Awitan kerja human insulin regular adalah ½ hingga 1 jam, puncaknya 2
hingga 3 jam durasi kerjanya 4 hingga 6 jam. Insulin reguler diberikan 20-30
menit sebelum makan.
2)
Intermediate acting insulin
·
NPH insulin (neutral protamine Hagedorn)
·
Lente Insulin (L)
Awitan kerja human insulin intermediate acting adalah 3 hingga 4 jam
puncaknya 4 hingga 12 jam durasi kerjanya 16-12 jam, biasanya diberikan sesudah
makan.
3)
Long acting insulin
·
Ultralente insulin (UL)
Awitan kerja long acting human insulin adalah 6-8 jam, puncaknya 12-16
jam durasi 20-30 jam. Insulin long acting kadang-kadang disebut sebagai insulin
durasi 20-30 jam. Insulin long acting kadang-kadang disebut sebagai insulin
tanpa puncak kerja karena preparat ini cenderung memiliki kerja yang panjang,
perlahan dan bertahan. Long acting insulin ini digunakan terutama untuk
mengendalikan kadar glukosa darah puasa.
III. Hipertensi
A.
Definisi
1.
Hipertensi adalah tekanan sistolik lebih tinggi dari
140 mmHg menetap atau tekanan diastolic > 90 mmHg. Diagnosis dipastikan
dengan mengukur rata-rata dua atau lebih pengukiran tekanan darah pada waktu
yang terpisah (Engram, 1998).
2.
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolnya diatas 90 mmHg
(Brunner and Suddarth, 2001).
3.
Hipertensi adalah peningkatan sistole, yang tingginya
tergantung umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam
batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur dan tingkat stress yang
dialami (Tamboyong, 2000).
B.
Etiologi (Sjaifoellah Noer, 2001)
Berdasarkan
penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua :
1.
Hipertensi Esensial
Yaitu
hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dan meliputi 90 % dari seluruh
penderita hipertensi, faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain
a.
Genetik
Peran faktor genetik terhadap hipertensi esensial dibuktikan bahwa
kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot dari
pada heterozigot, apabila salah satu diantara menderita hipertensi. Pada 70 %
kasus hipertensi esensial didapatkan riwayat hipertensi esensial.
b.
Usia
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Hipertensi
pada yang berusia kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit
arteri koroner dan kematian prematur.
c.
Obesitas
Adanya penumpukan lemak terutama pada pembuluh darah mengakibatkan
penurunan tahanan perifer sehingga meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang
mengakibatkan peningkatan vasokontriksi dan penurunan vasodilatasi dimana hal
tersebut dapat merangsang medula adrenal untuk mensekresi epinerpin dan
norepineprin yang dapat menyebabkan hipertensi.
d.
Hiperkolesterol
Lemak pada berbagai proses akan menyebabkan pembentukan plaque pada
pembuluh darah. Pengembangan ini menyebabkan penyempitan dan pengerasan yang
disebut aterosklerosis.
e.
Asupan Natrium meningkat (keseimbangan natrium)
Kerusakan ekskresi natrium ginjal merupakan perubahan pertama yang
ditemukan pada proses terjadinya HT. Retensi Na+ diikuti dengan
ekspansi volume darah dan kemudian peningkatan output jantung. Autoregulasi
perifer meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan berakhir dengan HT.
f.
Rokok
Asap rokok mengandung nikotin yang memacu pengeluaran adrenalin yang
merangsang denyutan jantung dan tekanan darah. Selain itu asap rokok mengandung
karbon monoksida yang memiliki kemampuan lebih kuat dari pada Hb dalam menarik
oksigen. Sehingga jaringan kekurangan oksigen termasuk ke jantung.
g.
Alkohol
Penggunaan alkohol atau etanol jangka panjang dapat menyebabkan
peningkatan lipogenesis (terjadi hiperlipidemia) sintesis kolesterol dari
asetil ko enzim A, perubahan seklerosis dan fibrosis dalam arteri kecil.
h.
Obat-obatan tertentu atau pil anti hamil
Pil anti hamil mengandung hormon estrogen yang juga bersifat retensi
garam dan air, serta dapat menaikkan kolesterol darah dan gula darah.
i.
Stres psikologis
Stres dapat memicu pengeluaran hormon adrenalin dan katekolamin yang
tinggi, yang bersifat memperberat kerjaya arteri koroner sehingga suplay darah
ke otot jantung terganggu.
Stres dapat mengaktifkan saraf simpatis yang dapat meningkatkan tekanan
darah secara intermiten.
2.
Hipertensi sekunder
Disebabkan oleh penyakit tertentu, misalnya :
a.
Penyakit ginjal
Kerusakan pada ginjal menyebabkan renin oleh sel-sel juxtaglomerular
keluar, mengakibatkan pengeluaran angiostensin II yang berpengaruh terhadap
sekresi aldosteron yang dapat meretensi Na dan air.
b.
Diabetes Mellitus
Disebabkan oleh kadar gula yang tinggi dalam waktu yang sama
mengakibatkan gula darah pekat dan terjadi pengendapan yang menimbulkan
arterosklerosis meningkatkan tekanan darah.
C.
Klasifikasi
Klasifikasi Stadium hipertensi Menurut Sjaifoellah
Noer, (2001) terdiri dari:
a.
Stadium 1 (ringan)
Tekanan sistolik antara 140 – 159 mmHg. Tekanan
diastolik antara 90-99 mmHg.
b.
Stadium 2 (sedang).
Tekanan sistolik antara 160 – 179 mmHg. Tekanan diastolik
antara 100 – 109 mmHg.
c.
Stadium 3 (berat)
Tekanan sistolik antara 180 – 209 mmHg. Tekanan diastolik
antara 110 – 119 mmHg.
d.
Stadium 4 (sangat berat)
Tekanan sistolik lebih atau sama dengan 210 mmHg. Tekanan diastolik
antara > 120 mmHg.
Klasifikasi ini tidak untuk seseorang yang memakai obat antihipertensi
dan tidak sedang sakit akut. Apabila tekanan sistolik dan diastolik terdapat
pada kategori yang berbeda. Maka harus dipilih kategori yang tinggi untuk
mengklasifikasi status tekanan darah seseorang.
D.
Tanda dan Gejala
Menurut Tambayong (2000) gejala dan tanda dapat dikarakteristikkan
sebagai berikut :
1.
Sakit kepala
2.
Nyeri atau berat di tengkuk
3.
Sukar tidur
4.
Mudah lelah dan marah
5.
Tinnitus
6.
Mata berkunang-kunang
7.
Epistaksis
8.
Gemetar
9.
Nadi cepat setelah aktivitas
10. Sesak
napas
11. Mual,
muntah
E.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada hipertensi adalah
sebagai berikut :
1.
Payah jantung (gagal jantung)
2.
Pendarahan otak (stroke)
3.
Hipertensi maligna : kelainan retina, ginjal dan
cerabrol
4.
Hipertensi ensefalopati : komplikasi hipertensi maligma
dengan gangguan otak.
5.
Infark miokardium
Dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat
menyuplai cukup oksigen kemiokardium atau apabila terbentuk trombus yang
menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut.
6.
Gagal ginjal
Karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler-kapiler
ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus darah akan mengalir ke unit-unit
fungsional ginjal. Nefron terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan
kemataian. Dengan rusaknya membran glomerulus,proteinakan keluar melalui urin
sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,menyebabkan edema,yang sering
dijumpai pada hipertensi kronik.
F.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosa hipertensi menurut Doenges (2000) antara lain :
1.
EKG : Hipertropi ventrikel kiri pada keadaan kronis
lanjut.
2.
Kalium dalan serum : meningkat dari ambang normal.
3.
Pemeriksaan gula darah post prandial jika ada indikasi
DM.
4.
Urine :
a.
Ureum, kreatinin : meningkat pada keadaan kronis dan
lanjut dari ambang normal.
b.
Protein urine : positif
G.
Penatalaksanaan
Menurut Engram (1999), penatalaksanaanya antara lain :
1.
Pengobatan hipertensi sekunder mendahulukan pengobatan
kausal.
2.
Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk
menurunkan tekanan darah dengan obat hipertensi.
3.
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang
bahkan seumur hidup.
4.
Pengobatan dengan menggunakan standar triple therapy
(STT) terdiri dari:
a.
Diuretik, misalnya : tiazid, furosemid,
hidroklorotiazid.
b.
Betablocker : metildopa, reserpin.
c.
Vasodilator : dioksid, pranosin, hidralasin.
d.
Angiotensin, Converting Enzyme Inhibitor.
5.
Modifikasi gaya hidup, dengan :
a.
Penurunan berat badan.
b.
Pengurangan asupan alkohol.
c.
Aktivitas fisik teratur.
d.
Pengurangan masukan natrium.
e.
Penghentian rokok.
H.
Nursing Care Plan
1.
Pengkajian data dasar (Doenges, 2000)
a.
Diabetes Mellitus
1)
Aktivitas
·
Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan. Kram otot,
tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat.
·
Takirkadia dan takipnea pada keadaan istirahat
atau dengan aktivitas.
2)
Sirkulasi
·
Adanya riwayat hipertensi.
·
Takikardia.
·
Perubahan tekanan darah posturral, hipertensi.
·
Nadi yang menurun/tak ada.
·
Disritmia.
3)
Integritas ego
·
Stress, tergantung pada orang lain.
·
Ansietas, peka rangsang.
4)
Eliminasi
·
Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia.
·
Rasa nyeri/terbakar, kesulitan berkemih
(infeksi), ISK baru/berulang.
·
Nyeri tekan abdomen.
·
Diare.
5)
Makanan/cairan
·
Hilang nafsu makan
·
Mual/muntah
·
Tidak mengikuti
diet ; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat.
·
Haus
·
Kulit kering, turgor jelek
·
Ketakutan/distensi abdomen, muntah.
·
Pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan
metabolik dengan peningkatan gula darah)
·
Bau halitosis/manis, bau buah (napas aseton).
6)
Neurosensori
·
Pusing/pening
·
Sakit kepala
·
Kesemutan, kebas kelemahan pada otot,
parastesia.
·
Gangguan penglihatan.
·
Disorientasi; mengantuk
7)
Nyeri
·
Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat).
·
Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat
berhati-hati.
8)
Pernapasan
Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung
adanya infeksi/tidak)
9)
Seksualitas
·
Rabas vagina (cenderung infeksi).
·
Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme
pada wanita.
b.
Hipertensi
1)
Aktivitas : lemah, letih, lesu, takipnea, peningkatan HR,
perubahan irama jantung.
2)
Sirkulasi : riwayat hipertensi, palpitasi, kenaikan TD
perubahan warna kulit, suhu dingin, pucat, sianosis, diaporesis.
3)
Integritas ego : ansietas, depresi, marah, gelisah, otot muka
tegang, peningkatan pola bicara.
4)
Makanan/cairan : mual/muntah, BB normal/obesitas, edema.
5)
Neurosensori : pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan,
epistaksis.
6)
Nyeri : angina, nyeri hilang timbul pada tungkai,
sakit kepala, nyeri abdomen.
7)
Pernapasan : dispnea takipnea, riwayat merokok, bunyi
nafas tambahan.
8)
Eliminasi : gangguan gunjal saat ini atau yang lalu.
9)
Keamanan : gangguan koordinasi, hipotensi postural.
2.
Diagnosa keperawatan
a.
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan
Tujuan :
Klien dapat toleransi terhadap aktivitas setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam kriteria
Kriteria Hasil :
Indikator
|
Berat
|
Agak berat
|
Sedang
|
Agak ringan
|
Ringan
|
HR DBN dalam respon terhadap
aktivitas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
RR DBN dalam
respon aktivitas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
TD sistolik dalam aktivitas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
TD diastolik
dalam aktivitas
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Warna kulit
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Melaporkan pelaksanaan ADL
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Fase berjalan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Toleransi menapak lantai
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Kemampuan
untuk berbicara saat latihan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Jarak berjalan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Kekuatan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Intervensi
1)
Mengidentifikasi faktor penyebab intoleransi aktivitas
faktor fisik atau psikologis
2)
Kaji kemampuan aktivitas klien setiap hari secara
tepat.
3)
Lakukan alih baring secara bertahap dan teratur
4)
Monitor dan catat kemampuan untuk mentoleransi
aktivitas meliputi nadi, TD, RR, warna kulit sebelum dan selama aktivitas.
5)
Anjurkan klien untuk menghentikan aktivitas bila ada
keluhan: rasa tidak nyaman yang semakin hebat, rasa tertekan atau berat pada dada,
punggung, leher, palpitasi, pusing.
6)
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan
kalori.
7)
Berikan tambahan O2 bila diperlukan
b.
Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan
kehilangan volume cairan secara aktif.
Tujuan :
Status cairan : intake cairan dapat adekuat setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria hasil:
Indikator
|
Tercapai
|
Sering
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Tak tercapai
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Vital sign DBN
24 jam intake dan output
seimbang
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Hidrasi kulit DBN
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Membran mukosa lembab
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Hematokrit dalam batas normal
(36-42 vol%)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berat badan stabil
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Asites tidak ada
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Oedem perifer tidak ada
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Mata tidak cowong
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1)
Management cairan
·
Monitor vital sign / 4 jam
·
Berikan terapi cairan infus sesuai terapi
·
Monitor status hidrasi
·
Monitor laboratory (HCT)
2)
Monitor cairan
·
Kaji intake dan out put
·
Observasi warna, kualitas dari urine
·
Monitor membran mukosa, turgor kulit
c.
Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
ybd intake yang berlebih
Tujuan :
Status nutrisi: Intake makanan dan output seimbang setelah dilakukan
tindakan perawatan selama 3 x 24 jam
Kriteria :
Indikator
|
Tak adequat
|
Kurang adequat
|
Kadang-kadang
|
Sering
|
Sangat adequat
|
1.
Intake makanan oral DBN
2.
Intake cairan oral DBN
3.
Monitor BB
4.
Nutrisi suplement yang dibutuhkan
5.
Melaporkan tanda dan gejala ketidakseimbangan cairan
|
1
1
1
1
1
|
2
2
2
2
2
|
3
3
3
3
3
|
4
4
4
4
4
|
5
5
5
5
5
|
1)
Monitoring Nutrisi
·
Monitor BB
·
Monitor turgor kulit
·
Monitor untuk mual dan muntah
·
Monitor HCT
·
Monitor cairan elektrolit
·
Sediakan nutrisi makanan dan cairan
·
Berikan makanan kesukaan dan yang dipilih sesuai
terapi
2)
Monitor cairan
·
Monitor BB
·
Monitor intake dan output
·
Monitor vital sign
·
Monitor membran mukosa, turgor kulit
d.
Nyeri akut ybd agen injuri biologi
Tujuan: Klien mampu mentoleransi level nyerinya
Kriteria :
Indikator
|
Selalu
|
Sering
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Tidak pernah
|
Melaporkan nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Frekuensi terhadap nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Lamanya nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Ekspresi wajah nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menjaga daerah nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menyebutkan faktor penyebab
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menggunakan tindakan non
analgetik
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menggunakan tindakan pencegahan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Melaporkan gejala pada tim
kesehatan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Berkeringat saat nyeri
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Intervensi :
1)
Kaji ulang secara komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, durasi frekuensi, skala nyeri dan faktor pencetus.
2)
Observasi tanda-tanda vital.
3)
Beri posisi yang nyaman pada klien.
4)
Ajarkan teknik relaksasi napas dalam
5)
Anjurkan penggunaan cara mengontrol nyeri
6)
Laksanakan terapi analgetik.
e.
Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan sering
terbangun
Tujuan : Kebutuhan tidur klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator
|
Selalu adequat
|
Agak adequat
|
Kadang-kadang
adequat
|
Jarang adequat
|
Tidak pernah
adequat
|
Jumlah jam tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Kualitas tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Sering terbangun
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Perasaan segar setelah bangun
tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Keefektifan tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan gangguan tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan tidur yang rutin
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Terjaga beberapa waktu
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Observasi pola tidur
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
f.
Perfusi jaringan otak tidak efektif yang berhubungan
dengan perlemahan alirah darah
Tujuan :
Perfusi jaringan otak klien efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator
|
Sangat kompromi
|
Sering
|
Kadang-kadang
|
Sedikit
|
Tidak
|
Tidak pusing
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak mual
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak pingsan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
TIK dalam batas normal
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Fungsi neurologi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak muncul bruit karotis
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak muncul kelemahan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak muncul kecemasan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak muncul agitasi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tidak ada lesu yang dirasakan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Intervensi :
1)
Monitor keadaan umum klien dan respon terhadap
aktivitas
2)
Observasi TTV
3)
Berikan O2 sesuai program
4)
Posisikan kepala 30o.
5)
Laksanakan terapi dokter.
g.
Resiko untuk jatuh yang berhubungan dengan perubahan
fungsi cerebral.
Tujuan :
Resiko jatuh klien dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator
|
Tidak pernah
diperlihatkan
|
Jarang
|
Kadang-kadang
|
Sering
|
Selalu
|
Ketidak-tahuan resiko jatuh
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Monitor keadaan lingkungan
beresiko
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Tingkatkan kontrol resiko
efektif
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Sarankan kontrol resiko yang
dibutuhkan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Pertahankan strategi kontrol
resiko
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Modifikasi gaya hidup
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Gunakan layanan perawatan
kesehatan yang optimal
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Gunakan komunikasi untuk
mengontrol resiko
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Monitor perubahan status
kesehatan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Intervensi :
1)
Identifikasi faktor penyebab jatuh klien.
2)
Anjurkan klien untuk meminta bantuan bila akan
beraktifitas
3)
Monitor kelelahan klien dengan ambulasi
4)
Libatkan keluarga untuk membantu kebutuhan klien.
h.
Resiko infeksi yang berhubungan dengan tidak adekuat
pertahanan sekunder terhadap penekanan respon inflamasi
Tujuan : Resiko infeksi dapat diminimalkan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria :
Indikator
|
Berat
|
Agak berat
|
Kadang-kadang
|
Jarang
|
Tidak pernah
|
Menunjukkan penyebaran infeksi
infeksi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan penambahan
penularan
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan tanda dan gejala
infeksi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan peningkatan
aktifitas resisten terhadap infeksi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan prosedur screening
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Menunjukkan praktek untuk
mengurangi transmisi
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Intervensi :
1)
Observasi tanda-tanda vital.
2)
Observasi tanda dan gejala infeksi baik lokal dan
sistemik
3)
Jelaskan pada keluarga tentang tanda-tanda infeksi
4)
Anjurkan makan-makanan yang tinggi protein
5)
Beri terapi antibiotik sesuai advis dokter
i.
Defisit pengetahuan tentang proses penyakit dan
penatalaksanaannya yang berhubungan dengan kurangnya informasi
Tujuan :
Pengetahuan kognitif : Pemahaman klien bertambah tentang proses penyakit
DM dan penatalaksanaannya setelah dilakukan penkes selama 20 menit.
Kriteria :
Indikator
|
Tidak
|
Terbatas
|
Sedang
|
Cukup
|
Luas
|
1.
Definisi DM
2.
Penyebab DM
3.
Tanda dan gejala DM
4.
Komplikasi DM
5.
Menjelaskan penatalaksanaan DM
|
1
1
1
1
1
|
2
2
2
2
2
|
3
3
3
3
3
|
4
4
4
4
4
|
5
5
5
5
5
|
Intervensi :
1)
Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga
2)
Berikan informasi tentang DM
3)
Deskripsikan secara umum tanda gejala DM
4)
Identifikasi penyebab DM
5)
Diskusikan penatalaksanaan DM
6)
Deskripsikan kemungkinan komplikasi DM
7)
Berikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk
bertanya
DAFTAR
PUSTAKA
|
Brunner
& Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”, Edisi 8, Vol
2, Jakarta: EGC
Doenges
Marilynn E., et. al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta: EGC
Engram,
Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol 2, Jakarta:
EGC
Underwood,
J. C. E. 2000. Patologi Umum dan Sistematik. Volume II. Jakarta: EGC
Iskandar,
Junaidi. 2002. Panduan Praktis Stroke. PT. Buana Ilmu Populer. Jakarta.
Mansjoer
Arif et. al. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius
Noer
Sjaifoellah. 2002. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: FKUI
Nanda.
2002. Diagnosis Keperawatan Nanda. Terjemahan Mahasiswa PSIK-B FK UGM.
Yogyakarta: UGM
Nettina
Sandra. M. 2002. Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Iowa
Outcome Project. 2000. Nursing Outcomes Clasification (NOC). Second
edition. Mosby
Iowa
Outcome Project. 2000. Nursing Intervention Clasification (NIC). Second
edition. Mosby
Soeharso
Imam, 2001. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Edisi Kedua
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sustiani, Lanny, Syamsir Alam dan Iwan Hadibroto. 2003. Stroke.
Jakarta ; PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tambayong
Jon. 2000. “Patofisiologi Untuk Keperawatan”, Jakarta, EGC
Tjokropawiro,
Askandar. 2001. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis dan Terapi.
Edisi 3. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
0 Comments